Sebelum baca cerita ini, baca dulu D-Day, 27 Mei 2006 :)
Tenda-tenda
pengungsian sudah berdiri di lapangan. Ada banyak titik pengungsian di dusunku.
Bisa dibilang hampir 99% rumah runtuh di daerah ini. Karena lokasinya yang
tidak jauh dari Sungai Oya sebagai titik gempa. Satu tenda berukuran lima meter
kali tiga meter. Jika dilihat memang besar, tetapi ketika masuk dan bebrapa
keluarga tidur disitu terasa kecil tenda ini.
Keluargaku
memutuskan untuk ngungsi di kantor bapak. Kantor bapak nggak terlalu jauh, di
sana juga sudah disediakan posko. Karena di desaku sudah tidak memungkinkan
lagi untuk mencari pengungsian, akhirnya siangnya aku bersama ibu dan
kembaranku langsung ke kantor bapak.
Di
sana sudah ada beberapa keluarga PLN. Aku sudah membawa tenda mainanku untuk
tidur. Posko pengungsian di kantor PLN itu di garasi mobil. Tempatnya terbuka
namun beratap dan alasnya sudah ada keramiknya. Tikar untuk tidur sudah digelar
berjajar. Dapur darurat juga sudah komplit dengan kompor, sayuran, dan bahan
makanan lain.
Malam
ini, hujan deras sekali. Ratusan liter air hujan turun membasahi debu-debu
reruntuhan. Di posko kantor terasa dingin, tempeyasan
air membasahi tubuh kecilku. Namun, aku tak berani mengeluh. Kabar dari
tetanggaku yang menginap di tenda lebih menyedihkan. Para bapak kehujanan
mempertahankan tenda agar tidak runtuh. Para ibu duduk jongkok menggendong
anak-anaknya. Teman-temanku menangis ketakutan. Sungguh aku tidak bisa
membayangkan, hatiku begitu miris mendengar itu.
Bapak
sudah mengabari Pak RT dan Pak Dukuh agar anak-anak mengungsi saja di PLN. Beberapa
keluarga yang anaknya masih kecil akhirnya tinggal bersamaku di posko PLN.
Malam itu tidurku tidak senyenyak tidur sebelumnya. Suara hujan yang
bergemuruh, membuatku membayangkan gempa pagi tadi. Memperlihatkanku kembali
pada jenazah tetanggaku, temanku, yang diberjejer untuk dishalatkan. Aku tak
mau membayangkan, tapi dari bayangan itu membuatku selalu ingat untuk
bersyukur.
19
Juli 2014
0 comments:
Post a Comment