Cara Berdamai

Sudahkah hati ini benar-benar berdamai dengan kenyataan yang ada?

Kenyataan bahwa realita tidak selelu berbanding lurus dengan impian. Ada banyak rasa yang perlu diadu dan perlu diseiramakan. Tidak terbiasa dan tidak mau tau. Ujungnya hanya akan memaksakan. Siapa yang mau dipaksa? Sapi saja yang tidak berakal terkadang memberontak ketika ada paksaan. Apalagi manusia yang berotak. Liha-lihat lagi, siapa kamu baginya? Mau memaksa seenaknya. 

Retorika hidup yang kadang penuh dengan kejutan. Melampiaskan sesuka hati, datang dan pergi tanpa permisi. Lebih parah lagi, berbalik mencicipi lalu diludahi. Apa otak tidak bisa menyaring baik buruk perilaku? Tidak bisa memberi pilihan motorik untuk bertindak? Manusia kadang tempatnya lupa, motorik dulu pikir belakangan. Jadi, banyak otak yang masih bagus secara fisik belum tentu kualitasnya.

Merasakan kegetiran hati sendirian terkadang menyakitkan, bukan? Selalu menata runtuhan yang mungkin kepingannya terlalu nanar untuk dipungkit kembali. Ya seperti itu, kelebihan-kelebihan yang akan mengahncurkan sehancur-hancurnya. Dengan kekuatan lebih, dipastikan akan lebih dahsyat efeknya.

Tidak ada inti bualan ini, maafkan. Aku sedang dalam "mengais mode on". Mengais serpihan hati yang kurusak sendiri. Disudutkan akan logika-logika tingkat tinggi seorang manusia pemikir ulung. Aku tidak bisa terbawa arus imaji dan analisisnya. Aku seorang penerka. Andai saja mau bergantian bertukar keinginan yang kau suguhkan kepadaku. Sekali saja aku gantian menyuguhkan ingin kepadamu. Maukah sekedar melirik? Atau sudah mengacuh ketika mendengar derap nafasku? Terserahlah, aku semakin tidak peduli. Terimakasih telah pernah singgah. Ingin rasanya kuumpat di depan mukamu, "Segini saja balasan yang kau bayar selama ini? Kupikir kau kaya sekaya omong kosongmu!"

Malam, damaiku dalam diam tak terucap di mukamu.

Hei Lagi!

Bolehkah aku merasa asing pada perjumpaan kita sebentar lagi?
Berapa purnama aku tidak pernah mendengar namamu, menyebut namamu saja seperti sudah ditelan bumi. Semua sosial mediamu tidak pernah aktif. Bodohnya diri ini terlarut tidak ingin cari tahu. Bagaimana bisa kau bertahan sekuat itu menahan rindu? Hehe apa aku yang terlalu percaya diri kau akan merindu. Mungkin saja kau juga melupa. Hingga suatu malam ketika hatiku terluka, yang kuingat namamu. Aneh sekali. Kenapa justru kamu? Serakahkah diri ini? Egoku menyeruak tidak mau diberi petuah.
"Hei bodoh, kau ingat dia saat kau terjatuh!"
"Kamu mau nyakitin dia lagi lagi dan lagi?"
"Ke mana selama ini hei kamu!"
Aku tetap mengirim pesan singkat, hanya memanggil namamu dari sosial media yang tidak pernah ada aktivitasnya.
*seen*
*typing*
Jantungku derdegup kencang. Jawaban macam apa yang akan dia beri? Apa yang harus aku jawab selanjutnya? Cepat sekali, bukan main! Dia selama ini masih on. Malam itu benar-benar membuatku gila.
Semesta mengambil peran dalam percakapan via online kita malam itu. Ternyata kamu memang sudah off dengan akun itu sejak lama, dan baru saja mencari password di akun lamanya. Kamu sudah mempunyai akun baru, yang kamu lebih aktif di sana. Baru saja kamu log ni, kamu bilang ada notif dariku. Semesta tidak pernah diam saja.
Responmu? Sungguh aku kagum. Terimakasih, tidak pernah meninggalkanku sendirian. Chatnya pindah ke via suara, 40 menit lebih. Kamu masih di kampus, dan aku di rumah. Kamu kenalkan aku kepada teman-temanmu. Lucu. Lebih-lebih tidak menyangka teman-temanmu mengetahui siapa aku. Apakah kamu tidak berhenti bercerita? Apakah kamu tidak pernah menghilangkanku dalam duniamu? Aku merasa bersalah, dan ingin menangis seketika. Sejahat inilah Ratna yang ada.
Aku justru lebih banyak mengobrol dengan teman-temanmu, yang sama sekali aku tidak tau siapa mereka. Namun, mereka tidak asing denganku. Terimakasih, sekali lagi untuk malam itu.
Begitu banyak kemunafikan dalam diri, kenapa harus terbentur baru sadar ya? Kenapa pengalaman orang lain tidak cukup menyadarkan naluri manusia? Biar aku enaknya saja. Dasar wanita.
Hei kau sudah datang. Nanti lagi.




Jombor, 2 Nov 2018
 
Dear It's Me Blog Design by Ipietoon