Tips Untuk yang Patah Hati

Ketika chat yang tertulis namanya berisi tentang cacian, makian, merendahkan, bahkan dikupas dengan kata-kata tanpa rasa. Aku coba baca ulang siapa nama  pegirimnya. Benarkah ini pesan yang dia ketik? Apakah dia mengetik dengan 'sekedar mengetik'? Di manakah pikirannya ketika tombol 'send' ia pencet dengan isi chat seperti itu? Sekali lagi. Apakah benar dia, yang baru kemarin menyatakan rindunya kepadaku?

Pertama kali di bulan ini chat semacam itu cukup mengagetkan mata dan hati ketika membacanya. Tapi ternyata setelah permintaan maaf, masih saja ada ungkapan chat yang sangat merendahkan dari dirinya. Dari situ tidak pernah lagi saya baca dengan hati, karena saya yakin dia saja tidak menggunakan otak untuk mengetik apalagi hati. Benar-benar seperti manusia liar dan asing yang tidak memiliki memiliki kesadaran penuh. Mabuk kali dia. 

Rasanya terlalu hampa untuk menerima semua kalimat-kalimat yang dia kirim. Tidak munafik ada perasaan antara tidak percaya, kesal, sedih, dan 'oh begitu rupanya'. Karena memang dia bukanlah stanger dalam keseharianku. Apakah dia tidak pernah berfikir apa yang saya rasakan ketika menerima kalimat itu? Ah lupa, aku tidak pantas mempertanyakan rasa dalam hal ini. Hingga keterbiasaan membuatku lebih bisa mengontrol apa yang harus dilakukan. Tanpa mempertanyakan: Kalau dibalikkan saja kalimat itu terlontar dan ku balas dengan hujatan pula, apakah akan sama jadinya? Sudah tentu tambah runyam.

Misalnya saja: Fisikku memang seperti ini adanya, mau diapakan lagi? Memang seperti ini. Pantaskah aku juga membalas dengan mempertanyakan dan memberikan pernyataan terhadap fisikmu juga? Apakah dari ujung rambut sampai kakimu sudah menjadi standar untuk diriku? Tentu tidak bukan. Lain lagi kalau standar itu dari orang-orang di sekitarmu, dibandingkan aku. Coba tengok dirimu lalu berkaca, sudah pantaskah 'lontaran' itu terucap dari dirimu untukku? Sudahkah kamu mendapat apa yang kamu inginkan dari penampilanku, sedangkan kamu harus dinotice dulu "aku rapi eh, jangan sandalan bgt, pake sepatu." Lalu sekarang bisa-bisanya melontarkan hujatan penampilan dan fisik. Kalau dari awal kamu juga menghargai pertemuan kita dengan memperhatikan penampilanmu, boleh saja kau lontarkan. Tapi? Kalau aku sudah menyiapkan sedemikian moleknya, tapi kamu biasa saja. Buat apa? Mau dilihat kesenjangannya? Tidak habis pikir. Ingat, gimana kamu untukku. Jangan liat yang lain dulu. Baru boleh kamu hujat aku.

Semoga saja, apa yang 'ingin' aku balas saat dia kirim chat itu tidak tidak pernah terlontar untuknya. Balasan yang dikemas sama seperti kemasannya. Sama-sama tanpa otak. Biarkan saja kusimpan menjadi rangkaian yang dikemas dengan kata-kata lain. Karena manusia seperti dirinya, hanya akan mengerti dengan analisis diri yang dia buat sendiri. Orang lain sudah tidak mempan, apalagi atmosfer dirinya sedang dalam kerumitan.

Semoga kamu baca, kutulis dengan hati yang sejuk.

Raihlah

Deburan raung tidak kunjung padam

Padahal hai sudah memberi signal

"Berhenti, harapmu semakin jauh pergi!"

Tapi ortak tidak mau berkolaborasi

"Diam kau hati! Dia, masih akan kembali!"

Waktu hanya menyaksikan yang terjadi

Waktu tau jawabnya

Waktu mengerti betul ramalan seperti apa

Tapi, masih saja membisu tanpa aksara

"Sudah, biarkan saja kepala dan matanya menyaksikan sendiri!"

Siapa yang benar dan salah, hanya sebuah kesubjektifan

Semua yang ada akan pergi pada "waktunya"


 
Dear It's Me Blog Design by Ipietoon