Pernah
tahu sepeda anak kecil yang masih didorong tapi ada boncengannya?
Seperti
itulah sepedaku waktu masih kecil. Sepeda yang bisa dinaiki dua bocah kecil,
aku dan kembaranku. Dengan sepeda itu ada peristiwa yang masih membekas sampai
saat ini. Jadi, dulu kalau main pakai sepeda ini biasanya didorong sama ibu.
Nah, di suatu siang ketika bermain sepeda bersama teman-teman, peristiwa penuh
tangis itu terjadi. Kalau lagi kumpul seperti ini, ibu-ibu juga pada kumpul.
Ketika
asyik bermain bersama teman-teman dengan pengawasan, tanpa sengaja aku naik jok
belakang. Naiknya itu bisa dibilang mengagetkan, ditambah lagi aku hadap
belakang. Maka njomplanglah sepeda
itu ke belakang. Padahal di jok depan itu Rahma (nama kembaranku) yang sedang
asyik duduk. Ya, dia juga ikut njomplang.
Jatuhlah dia di aspal dengan posisi dagu duluan.
“Huwaaaaaaa!”
Rahma menangis kesakitan. Dengan sigap ibu-ibu termasuk ibuku datang
menghampiri kami. Ibuku langsung menggendong Rahma pulang ke rumah. Dengan rasa
takut dan bersalah aku mengikuti langkah ibu pulang. Rahma masih menangis.
Setelah dilihat ada kerikil yang menancap di dagunya. Lumayan besar dan aku
bisa merasakan betapa sakitnya.
Kerikil
tidak bisa ditarik dengan tangan kosong. Keadaan menegang, karena bapak
mengambil langkah untuk mencabutnya dengan tang. Perasaan bersalah semakin
menyelimutiku. “Aku nggak sengaja!” aku hanya bisa berkata lewat hati. Batu
ditarik perlahan, darah yang tadi tidak ada kini menetes sedikit demi sedikit.
Luka langsung dibersihkan diobati kemudian ditutup perban oleh ibu.
Bekas
luka di dagu Rahma masih bisa terlihat jelas sampai sekarang. Ketika melihat
luka itu, cerita penuh maaf selalu datang menyorotkan kejadian tangis itu.
15
Juli 2014
0 comments:
Post a Comment