2014 sudah berakhir, 2015 sudah bermulai.
2014 setengahku merasakan indahnya masa SMA. Beteman dengan semuanya. Canda tawa para pemuda yang pandai dalam menyembunyikan beban keluarga. Bersahabat dengan mereka, bertukar pikiran satu sama lain. Mencarikan solusi untuk mengatasi masing-masing masalah. Terbuka, tanpa sungkan, namun menjaganya untuk menjadi rahasia. Menemukan langkah dewasa mengikat sebuah hubungan lebih dari seorang sahabat bersama si dia. Ternyata berdua itu lebih berwarna, keasyikan sendiri sih. Merasakan atsmosfer semangat belajar ketika menatap senyumnya. Sekelas. Nggak nyangka kalau jawabannya itu, Dia. He draw my life better than before:))
Pertukaran Pelajar Kota Yogyakarta 2014, catatan pengalaman hidup yang sungguh luar biasa. Menjadi salah satu dari bagiannya itu, sebuah cita-cita yang Alhamdulillah bisa terwujud dan terlaksana di tahun ini. Martapura, Kalimantan Selatan, menjadi tempat 14 hariku mendapatkan keluarga baru, sahabat baru, budaya baru, dan semuanya yang baru. Memberikanku betapa berartinya mereka yang selama ada di dekatku, rindu yang begitu bergejolak ketika dua minggu tanpa bertatap muka. Itu baru ku rasakan di tahun ini. Jauh, mandiri, tanggungjawab, rindu, keluarga, dan perjuangan.
Menjadi reporter Kaca#24 yang seharusnya menulis empat edisi, tapi hanya bisa tiga edisi karena Pertukaran Pelajar. Menentukan tema, mencari narasumber, menulis rangkaian kata, wawancara di 107,2 FM. Bersama selalu bertiga bersama Tere dan Rinda. Merasakan lega dan bangganya ketika foto, nama, sekolah, serta tulisan ada di koran pagi harinya setiap Kamis.
Hah, banyak yang tidak dapat dirangkai dalam tulisanku malam ini. Namun memori di tahin ini tak akan pernah bisa tak terhapus dalam ingatanku. Hal hal indah dan 'baru' banyak sekali ku jumpai dan ku dapatkan di tahun ini. I wish next year, catatan yang lebih luar biasa dari tahun ini akan tertulis, tertuang, dan terwujud di tahun depan. Semakin lebih baik baik dan baik, dalam segala hal. Semoga pendewasaan diri akan jelas terlihat di tahun 2015. Selamat malam đ â đđ
Tali Sepatu
Sepasang sepatu ini sudah bertali, dan talinya kini sudah saling mengikat satu sama lain. Hingga mereka selalu bersama. Mereka diikat tanpa paksaan dari benda lainnya, murni tulus dari kedua sepatu itu. Melangkahkan kaki dengan sepatu yang ikat akan lebih nyaman, ya? Emb bisa begitu. Tapi bukankah ketika mengikatnya terlalu kencang kaki akan terasa sesak, dan jika menalinya agak agak longgar meragukan langkah ini? Ternyata tidak senyaman yang dibayangkan sebelum kedua sepatu ini belum diikat.
Ketika sebuah sepatu masih bebas terbuka tanpa tali sepatu, melangkahkan kaki seenaknya tidak masalah. Mau dikencangkan, mau di longgarkan, tali basah tanpa ada keraguan sebuah ikatan dengan sepatu lainnya. Namun, ikatan ini bertali begitu saja. Tidak ada yang memaksa, sekali lagi. Bukan sebuah masalah sepertinya, tapi sebuah situasi yang belum menjadi kebiasaan saja. Ikatan tali dua sepatu ini, sangat indah sebenarnya, lebih rapi dan tentunya lebih lucu untuk dilihat.
Maka ikatlah tali ini dengan kekencangan yang pas:D jangan terlalu kencang, tapi tali juga tidak boleh longgar. Jagalah ikatan ini agar tetap menyamankan kaki kaki kita untuk melangkah ke depan. Resiko sudah menunggu di depan, kebahagian juga sudah ada di sampingnya. Bertali, itu bersama, hadapi keduanya dengan langkah yang serasi dengan ikatan tali ini:)) Entah walaupun, ketika menengok ke belakang ikatan dengan sepatu sebelumnya lebih menggetirkan:p
Ketika sebuah sepatu masih bebas terbuka tanpa tali sepatu, melangkahkan kaki seenaknya tidak masalah. Mau dikencangkan, mau di longgarkan, tali basah tanpa ada keraguan sebuah ikatan dengan sepatu lainnya. Namun, ikatan ini bertali begitu saja. Tidak ada yang memaksa, sekali lagi. Bukan sebuah masalah sepertinya, tapi sebuah situasi yang belum menjadi kebiasaan saja. Ikatan tali dua sepatu ini, sangat indah sebenarnya, lebih rapi dan tentunya lebih lucu untuk dilihat.
Maka ikatlah tali ini dengan kekencangan yang pas:D jangan terlalu kencang, tapi tali juga tidak boleh longgar. Jagalah ikatan ini agar tetap menyamankan kaki kaki kita untuk melangkah ke depan. Resiko sudah menunggu di depan, kebahagian juga sudah ada di sampingnya. Bertali, itu bersama, hadapi keduanya dengan langkah yang serasi dengan ikatan tali ini:)) Entah walaupun, ketika menengok ke belakang ikatan dengan sepatu sebelumnya lebih menggetirkan:p
Selamat bermalam Minggu:D
Sempat Datang
Apapun yang terjadi aku tetap masih bisa berharap
Apapun yang terjadi kau telah datang sesaat
Apapun yang terjadi kau sempat jadi yang terhebat
Apapun yang terjadi terimakasih untuk semua yang telah terjadi
Air mata, sakit hati, penyesalan, penantian!
Itu semua bukan apa-apa karena kemarin kau telah memberi kepadaku
Sebuah bahagia, tawa, harapan, dan kesempatan
Walau semua itu hanya sesaat
Aku mencoba meredam kobaran amarah ini
Dengan menjauh dan membatasi
*Apapun yang terjadi sekarang, sepahit apapun itu. Ingatlah masih ada sisi kemanisan yang pasti ada mengiringi kepahitannya. Entah itu manis yang 'dulu' pernah dituangkan sebelum kepahitan.
Labels:
Poetry
Antara Hati dan Ucapan
Berbicara tentang kebenaran sebuah ucapan, apa ada yang bisa menjamin kebenarannya kecuali dirinya sendiri? Apalagi mendengar ucapan seorang perempuan. Apa yang ada dihatinya bisa ditutupi begitu saja dengan ucapan yang membuat orang lain tak akan bisa melihat apa yang sedang terjadi. Terkadang sebuah kebenaran membuktikan bahwa perkataan tidak sehebat hati. Karena hanya dengan kekuatan hati, keadaan yang pilu bisa tampak tak apa-apa dengan ucapan yang dirangkai untuk dikeluarkan mulutnya. Hati adalah sebuah privasi yang tidak semua harus tahu. Maka, jangan abaikan dengan ucapan manis teman, sahabat, atau saudara kita. Karena siapa tadi di balik ucapan mereka sedang ada hati yang terluka. Kemarin saya sempat kecolongan dengan perbincangan manis dengan teman saya. Tanpa saya sadari itu adalah ungkapan pilu dari hati mungilnya yang ia tutupi dengan rangkaian kalimat indah :)
Selamat Malam!
Labels:
my stories
Api Itu Besar
Waktu
kecil kelompok mainku itu kompak banget. Ada tujuh anak, tiga cewek sisanya
cowok. Hampir setiap hari kami selalu kumpul bareng. Pernah di suatu hari,
waktu liburan kami menginap disalah satu rumah temenku cewek. Karena rumahnya
yang luas dan dia punya tenda, kami pilihlah malam Minggu untuk makrab bersama.
Kami
udah siap-siap dari sore. Sama sekali tidak ada firasat burukpun. Senja mulai
berganti malam, tragedi mengenaskan itu terjadi. Kompor yang kami buat dari
tumpukan batu bata dengan bahan bakar kayu itu saksinya. Karena ingin seperti
petualang sejati kami memasak makanan sendiri. Kalau tidak salah aku memasak
mie rebus. Belum mie matang, tiba-tiba api berkobar tinggi melebihi tubuhku
yang sedang jongkok.
âWuuuussssshhhâ
api itu mengeluarkan bunyi yang keras.
Pipiku
terasa panas sekali. Teman cowokku merintih kesakitan. Kejadian itu terlalu
cepat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa detik setelah api
itu berkobar aku baru tersadar. Pipiku sudah terkena api, merahlah pipi
tembemku ini. Perih, panas, dan takut perasaanku saat itu. Namun, temanku cowok
yang berteriak tadi rambutnya sudah terbakar. Orangtua temanku yang punya rumah
langsung mematikan api di kepala yang sudah membakar sebagian rambutnya.
Pipiku
diolesi dengan cairan apa yang entah itu apa. Bapak ibuku langsung ditelpon,
kalau tidak salah teman cowokku dibawa ke rumah sakit. Mungkin jika aku bisa
melihat diriku waktu itu, aku pasti dalam keadaan pucat dan dingin karena
takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata temanku yang rambutnya
terbakar itu menyemprotkan minyak tanah yang terlalu banyak. Posisinya yang
terlalu dekat mebuatnya terbakar cukup banyak. Untung saja aku yang sedang
memasak di depan kompor batu bata itu hanya terbakar di bagian pipi saja.
Dari
kejadian malam itu, kami sempat libur untuk bermain. Kami semua merasa salah.
Tetapi aku mengambil hikmah dari kejadian itu, bahwa pengawasan orangtua tidak boleh lepas untuk anak yang masih di
bawah umur. Apalagi untuk bermain api. Sebagai anak juga jangan ngeyel, hati-hati
kalau mau main itu. Harus tahu seberapa riskan dan bahaya permainan tersebut.
20
Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil)
Setelah Gempa Pagi Itu
Sebelum baca cerita ini, baca dulu D-Day, 27 Mei 2006 :)
Tenda-tenda
pengungsian sudah berdiri di lapangan. Ada banyak titik pengungsian di dusunku.
Bisa dibilang hampir 99% rumah runtuh di daerah ini. Karena lokasinya yang
tidak jauh dari Sungai Oya sebagai titik gempa. Satu tenda berukuran lima meter
kali tiga meter. Jika dilihat memang besar, tetapi ketika masuk dan bebrapa
keluarga tidur disitu terasa kecil tenda ini.
Keluargaku
memutuskan untuk ngungsi di kantor bapak. Kantor bapak nggak terlalu jauh, di
sana juga sudah disediakan posko. Karena di desaku sudah tidak memungkinkan
lagi untuk mencari pengungsian, akhirnya siangnya aku bersama ibu dan
kembaranku langsung ke kantor bapak.
Di
sana sudah ada beberapa keluarga PLN. Aku sudah membawa tenda mainanku untuk
tidur. Posko pengungsian di kantor PLN itu di garasi mobil. Tempatnya terbuka
namun beratap dan alasnya sudah ada keramiknya. Tikar untuk tidur sudah digelar
berjajar. Dapur darurat juga sudah komplit dengan kompor, sayuran, dan bahan
makanan lain.
Malam
ini, hujan deras sekali. Ratusan liter air hujan turun membasahi debu-debu
reruntuhan. Di posko kantor terasa dingin, tempeyasan
air membasahi tubuh kecilku. Namun, aku tak berani mengeluh. Kabar dari
tetanggaku yang menginap di tenda lebih menyedihkan. Para bapak kehujanan
mempertahankan tenda agar tidak runtuh. Para ibu duduk jongkok menggendong
anak-anaknya. Teman-temanku menangis ketakutan. Sungguh aku tidak bisa
membayangkan, hatiku begitu miris mendengar itu.
Bapak
sudah mengabari Pak RT dan Pak Dukuh agar anak-anak mengungsi saja di PLN. Beberapa
keluarga yang anaknya masih kecil akhirnya tinggal bersamaku di posko PLN.
Malam itu tidurku tidak senyenyak tidur sebelumnya. Suara hujan yang
bergemuruh, membuatku membayangkan gempa pagi tadi. Memperlihatkanku kembali
pada jenazah tetanggaku, temanku, yang diberjejer untuk dishalatkan. Aku tak
mau membayangkan, tapi dari bayangan itu membuatku selalu ingat untuk
bersyukur.
19
Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil)
D âDay, 27 Mei 2006
Tahukan
gempa Yogyakarta di tahun 2006? Nah, waktu gempa itu terjadi aku baru kelas 1
SD. Aku masih inget banget, waktu itu tanggal 27 Mei jam 05.55. Posisiku baru
mau wudhu shalat shubuh. Barus selesai mandi dan cuma pakai handuk aja. Baru aja
kumur-kumur tanah kamar mandi bergetar, terus aku injek-injek tapi kok nggak
berhenti justru tambah keras.
âGempa,
gempa, Allahuakbar!â Ibu udah teriak-teriak dari dapur. Aku belum tahu apa itu
gempa? Aku langsung saja keluar kamar mandi. Tambah bingung karena dapur udah
terasa panas karena api berkobar-kobar. Kompor minyak buat Ibu masak ternyata ngglimpang. Ku lihat wajah Ibu panik
mencelupkan keset dan mematikan api. Setelah api padam aku keluar rumah
digandeng ibu.
Bapak,
ibu, kakakku, dan kembaranku sudah berkumpul di depan rumah. Sunyi dan sepi
sekali keadaan waktu itu. Pemandangan jadi terang sekali. Depan, samping kanan
kiri, belakang rumahku rata dengan tanah. Jalan aspal tak bisa kulihat lagi,
karena jalanan itu dipenuhi batu bata rumah tetanggaku yang runtuh. Debu-debu
berterbangan memenuhi pandangan.
Lima
menit setelah hening dalam sunyi teriakan mulai terdengar.
âTulung,
tulung!â
âAllahuakbar,
tulungi kula!â
Lengkingan
permintaan tolong bersahutan bersamaan. Bapak dan kakakku mencoba mencari asal
suara-suara itu. Bersama bapak-bapak yang lain berbondong memberi bantuan
pertama. Aku dan ibuku masuk mencari baju yang ada dijemuran, karena aku keluar
hanya dengan selehai handuk. Benar-benar luar biasa bencana pagi itu. Dua almari
di dalam rumahku jatuh dan semua isi pecah berhamburan. Akuariumku juga jatuh
dan pecah. Rumahku berserakan beling-beling kaca. Namun, syukur rumahku masih
bisa berdiri kokoh.
19 Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil)
Berlari dari Ular Hitam
Rumahku ada di desa yang masih
cukup asri. Di sebuah dusun Pelemsewu, di sana masih banyak sawah. Rata-rata
sesepuh di dusunku bermata pencaharian sebagai petani. Hamparan sawah masih
bisa terlihatterbentang hijau di antara pemukiman. Sawah itulah salah satu tempat
bermainku di waktu kecil.
Bergerombolan sebelum TPA, aku
dan kawan-kawan selalu meluangkan waktu untuk bermain di sawah. Jika masih
musim tandur, tanah sawah masih basah, disaat itulah waktu yang tepat untuk
bermain. Sambil teriak-teriak kami menyusuri parit yang sempit, terkadang
sesekali mencelupkan kaki untuk merasakan dinginnya air.
Pada suatu hari, kami yang masih
kecil-kecil ini tercengang dan langsung berhamburan. Berteriak ketakutan. Kami berlari
berebutan di jalan setapak itu. Setelah temanku yang depan sediri berteriak, âUlar!
Ada ular! Lariâ Aku juga melihat hewan sebesar ranting melata di antara
rerumputan. Ularnya berbawarna hitam pekat.
Kami berlari tanpa berhenti
sampai kelar dari area persawahan. Alhamdulillah, kami bisa tidak mendapat
serangan apapun dari ular tersebut. 19 Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil)
Ngompol Part 2 ._.
Tidak
jauh berbeda dengan Ngimcil kemarin
yaitu âNgompol di Tumpukan Sandalâ, kali ini masihberbicara tentang ngompol
sembarangan. Kali ini bisa dibilang lebih ekstrim. Aku masih sangat ingat
peristiwa memalukan ini, karena aku sudah umur lima. Tempat kejadiannya di salah satu mal di Yogyakarta. Dulu di mal
itu ada tempat main mandi bolanya, tapi sekarang udah nggak ada. Buat main di
mandi bola, bayarnya masih Rp 6000.
Belum
ada firasat apapun, menikmati tuh mandi
bolanya. Di mandi bola waktu itu cuma ada aku dan Rahma. Karena asyik bermain,
bapak sama ibu jalan-jalan sendiri. Ditinggalah kami berdua, dan kami
ditungguin mbak penjaga mandi bola. Mbaknya gendut dan nggak terlalu tinggi,
pakai jilbab dan dia baik. Sudah cukup lama bermain, udah mulai kebelet-kebelet
gitu. Malu mau bilang sama mbaknya, ditahanlah supaya nggak pipis.
Ternyata
pertahanan mulai bocor. Sudah tidak bisa ditahan lagi. Ngompolah aku di kolam
penuh bola. Karena takut mau bilang apa, aku nangis keras banget. Rahma malah
marahin aku buat diem. Tambah keraslah tangisku. Mbaknya mulai bingung.
âCup, dik! Nggak papa kok kalau
ngompol.â mbaknya mencoba menghiburku. Rasa takut, bersalah, serta malu membuat
kalimat menghibur dari mbaknya tak mempan untukku. Aku tidak tahu apa yang
dirasakan mbaknya waktu itu, ya?
Belum
lama aku menangis, bapak ibu datang. Mungkin naluri mereka merasakan jeritan
tangisku, ya. Langsung deh, pamitan sama mbak baik hati dan meminta maaf atas
perbuatanku. Maklumilah karena hobiku yang suka ngompol. Setelah itu, lama
sekali aku nggak pergi ke mal itu. Malu oi malu.
17
Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil),
my stories
Ngompol di Tumpukan Sandal
Mencari
bahan untuk proyek âNgimcilâ ini,
membutuhkan ketajaman ingatan untuk flash
back. Kali ini aku mengingat satu peristiwa yang bisa dibilang memalukan,
ya. Kejadian ini masih samar aku ingat, tapi ibuku kembali menceritakan
peristiwa itu. Karena memang aku masih umur dua tahun, ingat peristiwanya tapi
gambarannya itu masih kurang jelas.
Waktu
itu sama seperti ini, bulan Ramadan. Sudah tradisi kalau Ramadan keluargaku
memilih shalat di masjid. Begitu pun juga walau masih punya anak kecil dua
tahun dua orang lagi, ibu tetap memilih shalat di masjid dan membawa aku serta
kembaranku. Tahukan kalau anak kecil ditinggal shalat itu bisa keluyuran sampai
mana-mana? Nah, aku juga begitu.
Shalat
tarawih baru saja dimulai, aku bersama kembaranku sudah pergi dari tempat
shalat ibuku. Aku keluar masjid dan main di sandal-sandal jamaâah shalat malam
itu. Karena takjub banyak banget sandal di sana, aku main lari-larian di atas
tumpukan sandal. Karena asyiknya bermain aku juga pipis di tumpukan sandal itu.
Tanpa rasa bersalah telah menajisi sandal, aku masih saja bermain. Sampai di
istirahat tarawih, ibu datang menghampiriku. Ibu mendapati aku yang sudah basah
karena sudah ngompol. (Aku tidak biasa
memakai pempers.)
Ibu
kaget karena sandal-sandal ibu-ibu dan bapak-bapak lain sudah tergenang air
pipisku. Tanpa pikir panjang ibu langsung menggendongku dan menggandeng
kembaranku pulang ke rumah.
(Dengan
bahasa Jawa) âPermisi saya duluan, maaf ini sandalnya pada dipipisin.â ibuku berpamitan
kepada ibu-ibu lain dan aku yakin perasaan tidak enak menyelimuti ibuku. Terkadang
pipiku memerah ketika salah satu ibu yang menyaksikan kejadian itu mengingatkan
kepadaku tentang ngompol di sandal orang.
16 Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil),
my stories
Luka di Dagu Itu
Pernah
tahu sepeda anak kecil yang masih didorong tapi ada boncengannya?
Seperti
itulah sepedaku waktu masih kecil. Sepeda yang bisa dinaiki dua bocah kecil,
aku dan kembaranku. Dengan sepeda itu ada peristiwa yang masih membekas sampai
saat ini. Jadi, dulu kalau main pakai sepeda ini biasanya didorong sama ibu.
Nah, di suatu siang ketika bermain sepeda bersama teman-teman, peristiwa penuh
tangis itu terjadi. Kalau lagi kumpul seperti ini, ibu-ibu juga pada kumpul.
Ketika
asyik bermain bersama teman-teman dengan pengawasan, tanpa sengaja aku naik jok
belakang. Naiknya itu bisa dibilang mengagetkan, ditambah lagi aku hadap
belakang. Maka njomplanglah sepeda
itu ke belakang. Padahal di jok depan itu Rahma (nama kembaranku) yang sedang
asyik duduk. Ya, dia juga ikut njomplang.
Jatuhlah dia di aspal dengan posisi dagu duluan.
âHuwaaaaaaa!â
Rahma menangis kesakitan. Dengan sigap ibu-ibu termasuk ibuku datang
menghampiri kami. Ibuku langsung menggendong Rahma pulang ke rumah. Dengan rasa
takut dan bersalah aku mengikuti langkah ibu pulang. Rahma masih menangis.
Setelah dilihat ada kerikil yang menancap di dagunya. Lumayan besar dan aku
bisa merasakan betapa sakitnya.
Kerikil
tidak bisa ditarik dengan tangan kosong. Keadaan menegang, karena bapak
mengambil langkah untuk mencabutnya dengan tang. Perasaan bersalah semakin
menyelimutiku. âAku nggak sengaja!â aku hanya bisa berkata lewat hati. Batu
ditarik perlahan, darah yang tadi tidak ada kini menetes sedikit demi sedikit.
Luka langsung dibersihkan diobati kemudian ditutup perban oleh ibu.
Bekas
luka di dagu Rahma masih bisa terlihat jelas sampai sekarang. Ketika melihat
luka itu, cerita penuh maaf selalu datang menyorotkan kejadian tangis itu.
15
Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil),
my stories
Keluar Kau Pilus!
Waktu
itu masa-masa liburan, anak-anak ramai berkumpul untuk bermain bersama.
Kira-kira aku masih kelas 5 SD, dan ada salah satu temanku yang masih kecil
namanya Sahra. Dia adiknya temanku, tepatnya masih umur 6 tahun.
Seperti
biasa setelah mandi pagi, kami akan berkumpul di lapangan samping rumahku.
Telah banyak tawa dan canda kami ukir di lapangan tersebut. Sambil bermain kami
biasanya makan snack yang biasa dibeli di warung Pak Paidi. Nah, hari itu kami
memutuskan untuk beli Pilus. Tahukan snack Pilus, sudah murah isinya banyak.
Kami
makan tuh dengan asyik. Nah, si Sahra makannya langsung ke mulut. Belum sampai
Pilusnya habis, Sahra teriak-teriak ketakutan. (Dengan bahasa Jawa) âTolong,
Pilusnya masuk hidungku. Ini nggak bisa keluar. Aduh gimana ini?â Kami yang
berada di sampingnya tak tahu harus berbuat apa-apa. Karena Pilus yang putih
itu tidak terlihat dari luar lubang hidungnya. Kami hanya bisa melihat benjolan
yang berada di tengah-tengah hidung sebesar pilus.
Dapat
dibayangkan betapa paniknya kami. Bertanya-tanya, bagaimana bisa Pilus ini
masuk? âKamu sisi cepat!â âNunduk!â âJangan bergerak!â Kami bersahutan untuk
memberikan solusi kepada Sahra. Karena tambah bingung, akhirnya gadis kecil ini
menangis. Sebagai kakak yang baik, kami berbondong-bondong menghantarkan Sahra
pulang ke rumah. Semuanya diceritakan kepada mama papa Sahra. Mereka juga
tampak bingung.
Melihat
keributan di depan rumah Sahra, salah satu tetangga kami sebut saja Pak Wir
menghampiri. Pak Wir sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Dengan gaya
kebapakkannya beliau memberikan solusi, âMasak sambel saja, Mbak Yul. (nama
mamanya Sahra)â
Seketika
itu, Mama Sahra meracik sambal di dapur. Secepat kilat, sambal yang ada dicoek
di goreng. Mama Sahra mengaduk-aduk sambal di penggorengan, Papa Sahra
menggendong Sahra mendekat sambal yang sedang di goreng. Aroma khas sambal
goreng mulai tercium. Aroma semakin menyengat. âHaaaacchhhinngg!â Sahra bersin
dengan mantapnya. Pilus kecil yang ada di dalam lubang hidungnya, keluar begitu
saja dan nyemplung di sambal.
Alhamdulillah,
kami yang menyaksikan kejadian itu langsung terasa lega.
14
Juli 2014
Labels:
7 Ngimcil (Ngisah Masa Kecil),
my stories
Ujung Ngengkremi #22
Huah, Alhamdulillah. Proyek menulis Ngengkremi #21 selama 21 hari sudah selesai. Insyaallah kebiasaan yang memulai membuatku nyaman ini, akan tetap aku teruskan.
Labels:
#21 Ngengkremi,
Mine
Aku Ora Isin, Kekancan karo Jathilan #21
Surupe
donya wis ganti dadi esuk. Srengenge durung njedul, ananging semburat abang ing
sisih wetan wis katon mbranang. Manuk-manuk pating cruit, mbrebegi turuku sing
angler. Angop, âHuahâŠâ tangi turu tanpa angop lan ngolet kuwi rasane kaya
jangan ora diuyahi. Ana ing meja sinauku wis ana klambi, make up, lan sapadhane sing wis tak tata apik saka mau mbengi. Jam
pitu mengko kelompok jathilanku entuk job
ana ing Dusun Nangkasewu. Amarga kuwi, apa sing dibutuhke mengko wis
daksiapake, supaya aku ora kremungsung lan telat.
Awakku sakjane radha ngregesi , tapi
piye maneh umpamane aku ora njikuk job iki
Simbok kudu luwih anggone nyambut damel. Simbok wis ora enom maneh, tapi
semangate golek dhuwit kanggo aku supaya
tetep bisa sekolah, iku gedhe. Rasane kuwi katon nyess ana ing ati, nalika mriksani Simbok ngumbahi klambi sing sak
abrek ing laundy kagunganne Bu Darso.
Ora tega, nanging aku biso ngrewangi Simbok yo pas bali sekolah. Sapeninggalane
bapak sowan dhumateng Gusti Allah, uripku lan Simbok kerasa luwih abot. Kanggo ngringanake
beban iku, aku melu njathil sing dhuwite bisa kanggo nambah-nambah.
âMbok, kula pamit rumiyin, nggeh!
Assalamuaikumâ
âYo, Le. Ati-ati, ojo kesel-kesel.
Nek wes rada kesel mengko leren wae yo, Nur!â Kula percaya Simbok pareng donga
kangge kula. Simbok mesti kuatir yen anak lanange iki arep njathil. Simbok
dereng nate mriksani anggonku njathil, Simbok nate ngendika yen ora tega weruh
anake golek dhuwit nganti koyo ngono.
Acara jathilan wis dimulai, saiki
genthi giliranku tampil ana ing ngarepe wong-wong sing wis rame muteri
lapangan. Awakku rasane abot, saya suwi rasane ana sing ngleboni awakku, banjur
kuwi aku ora kelingan ora sadar. Awakku kesurupan roh, pramila anggonku polah
ora kaya wong lumrah. Atraksi sing daklakoni biasane kaya ngadheg lan salto ing dhuwure pecahan beling, mangan
kembang, gabah, silet, uga pitik mentah.
Awak iki lemes banget rasane, sirahe
lumayan mumet. E, malah Pak Supri utawa pawang kelompokku nyemprot raiku
nganggo banyu. âAduh, Pak. Kula pun sadarâ kandhaku supaya Pak Supri mboten
nyemprot aku maneh. Dak deleng kiwa tengen sepi nyenyep, ora ana wong maneh.
Lapangan sing mau akeh wong, ganti angin-angin sing sumilir tanpa swara.
âIki jatahmu, Nur. Jogedmu mau apik
lho, top tenan!â Pak Supri ngendhika
kalihan maringi kula amplop putih.
âMatur nuwun, Pak. Kula wangsul
rumiyin, Simbok sampun nengga.â pamitku marang Pak Supri.
âYa, ati-ati.â
Rasane seneng, upahku njathil dina
iki Rp 20.000, biasane namung Rp 15.000. Alhamdulillah, niki rejeki kangge
Simbok. Wis 3 taun aku dadi pemain jathilan lan dakrasake iku ora gampang.
Taksih ditingali setengah mata, syiriklah, njijikilah, tapi aku bangga bisa
dadi salah sijine pemain iku. Aku ora isin urip saka dhuwit njathil uga
kekancan karo sing jenenge jathilan. Jathilan kuwi wis dadi guru sing ora tahu
kesel ngancani aku nglewati beban urip. Dadi aja maneh gadhah pemikiran sing
mboten-mboten dhumateng jathilan, niki namung kabudayan sing kedhah
disengkuyung. Aja isin kekancan karo jenenge jathilan. Yen ora awake dhewe sapa
maneh sing bakal ngancani lan nyengkuyung kabudayan jathilan iki?
Ratna Azizah Puteri
5 Juli 2014
Labels:
#21 Ngengkremi,
Mine,
my stories
Semangatlah Temanku! #20
Pertama aku mau ngucapin 'selamat datang teman-teman di SMA N 11 Yogyakarta'. Tapi perasaanku kok aneh, ya. Bukannya sok tahu atau gimana, tapi sebagian dari teman-teman baru yang tadi baru daftar ulang itu wajahnya kok sedih, ya? Aku mulai berfikir.Tepat satu tahun yang lalu aku juga merasakan hal yang sama seperti kalian. Datang ke sekolah ini aku juga 'nggak terlalu bahagia'. Mungkin sama halnya dngan mereka. Ini bukan sekolah yang aku mau! Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Rasa syukur atas takdir Allah, satu-satunya cara untuk membuat aku tegar.
Tenang aja teman-teman. Waktu akan membuat bangga dengan sekolah ini. Buktinya sekarang, aku sangat bangga dengan sekolah terluas ini. Ternyata banyak hal yang tidak kalah dengan sekokah lain. Jangan menyeaal bisa masuk di sekolah negri ini. Karena di luar sana masih banyak yang menginginkan posisi kita. Syukuri dan jalani sepenuh hati. Yakinlah kebanggaan itu akan muncul begitu saja.
Dari sedikit pengalaman ini, aku berharap jangan nglokro sekolah di sini buat adik-adik semua. Justru kalian harus membuktikan, di tempat ini kalian juga berprestasi.
04 Juli 2014
Tenang aja teman-teman. Waktu akan membuat bangga dengan sekolah ini. Buktinya sekarang, aku sangat bangga dengan sekolah terluas ini. Ternyata banyak hal yang tidak kalah dengan sekokah lain. Jangan menyeaal bisa masuk di sekolah negri ini. Karena di luar sana masih banyak yang menginginkan posisi kita. Syukuri dan jalani sepenuh hati. Yakinlah kebanggaan itu akan muncul begitu saja.
Dari sedikit pengalaman ini, aku berharap jangan nglokro sekolah di sini buat adik-adik semua. Justru kalian harus membuktikan, di tempat ini kalian juga berprestasi.
04 Juli 2014
Labels:
#21 Ngengkremi,
my stories
Penggemar Cilik #19
Penggemar Cilik
#19
Adik-adik
itu ternyata telah menggemariku sejak lama. Lebih tepatnya menggemariku dengan
saudara kembarku. Dengan polos mereka mewawancaraiku. Mempertanyakan keinginan
tahu mereka tentang kami berdua. Mereka
mengungkapkan keheranannya, kok bisa
mirip banget mukanya. (La ya namanya
kembar, dek ._. )
Di tengah
kultum shalat tarawih malam itu, adik-adik manis ini tanya siapa namaku. Lalu
kuulurkan tangan tanda kenalan. Bukannya mengucapkan nama, adiknya justru
tertawa bahagia. Dari raut wajahnya, adiknya itu seneng banget. (Duh, GRku meningkat.) Salah satu
dari mereka ada yang menyeletuk, âUdah
puas belum? Dia ngefans banget sama mbak kembar!â
Dalam hati
aku bersenandung tidak kalah bahagianya. Oalah beginikah rasanya punya fans? Ya
itung-itung latihan kalau jadi artis nanti. Ternyata adik-adik ini sudah
memperhatikan aku dan kembaranku sejak pertama tarawih. Mereka juga seneng
kalau lagi ngaji sama aku atau Rahma. Sebenarnya gelagat keinginan tahu mereka
itu sudah bisa ditebak. Mereka sering caper
gitu. Tapi nggak nyangka kalau mereka itu ngefans.
Di akhir
malam itu, Najwa, Asa, dan kawan-kawan mulai menyapaku.
âDada mbak
kembar! Besok ketemu lagi,ya!â kata Asa sambil berlalu menerobos malam.
03 Juli
2014
Labels:
#21 Ngengkremi,
my stories
Ini Masih Pagi, Kok Sudah Merokok #18
Beberapa hari silam, aku bertemu
pengendara motor yang bisa dibilang cukup menyebalkan, ya. Bukan masalah dengan
motornya yang motor lama sehingga mengeluarkan asap. Namun, ia asyik dengan
rokok yang terus dihisap sepanjang jalan. Padahal hari itu masih pagi, banyak
orang yang memanfaatkan bersihnya udara pagi. Lha, bapak ini kok sudah asyik dengan rokoknya.
Coba bayangkan bila setiap
perokok berkelakuan sama dengan bapak ini. Ia harus berangkat kerja pagi, dan
keinginan besar untuk merokok. Lah, kalau begitu bagaimana manusia bisa
mendapatkan bersihnya udara. Siang hari? Ah, Sudah tidak memungkinkan untuk
mendapat udara bersih. Banyak aktivitas yang akan dikerjakan pada siang hari.
Banyak pengguna jalan yang akan mengeluarkan CO (karbon monoksida) dari
kendaraannya. Dapat dipastikan, kelangkaan udara bersih akan lebih dirasakan.
02 Juni 2014
Labels:
#21 Ngengkremi,
my stories
Subscribe to:
Posts (Atom)