Mendaki Kedewasaan Diri

Hallo selamat bersua via darling kembali, Semesta!
Maafkan ya karena tugas dan aktivitas tidak mengizinkanku membuka blog. Karena bisa berlarut sampai lupa tujuan utamanya.
Kali ini aku mau share sesuatu yang sudah cukup lama aku goreskan dalam catatanku. Sudah berkali pula ingin aku publikasikan. Tapi ya tadi, apalah dayaku baru sempat. Langsung read it out:)

"Aku kendarai motor hitam yang dipercayakan Bapak ini bolak-balik Tembalang-Banyumanik hampir setiap hari. Berapa kilometer yang telah kutempuh sendirian ini? Tentunya lebih dari 2000km setiap tiga bulannya. Terbukti setiap jatuh jatah service kilometer sudah melewati angka. 

Setiap roda motor kesayanganku ini membawa pada tikungan, mengharuskanku memilih jalan mana yang akan kupilih. Jalan mau pulang saja penuh pilihan, apalagi kehidupan ya? Selalu terlintas dalam hati. Tidak ada seorangpun yang menuntutku untuk memilih belokan yang mana? Kanan kiri oke saja. Mau lebih boros bensin tidak? Mau lewat yang banyak jajan tidak? Mau sekalian sekalian yang lain tidak? Atau mau langsung pulang saja? Setiap tikungan yang akan kupilih memiliki kelebihan dan kurangnya sendiri. Mereka-mereka ini memiliki konsekuensi masing-masing yang harus siap kujumpai. 

Kesederhanaan jalan pulangku, dipusingkan dengan makna kehidupan yang menjadi pikiran.

There's something important here. Aku bertanya pada diriku yang di akhir taun ini sudah akan memasuki usia kepala dua. Betapa hebatnya akal yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Setiap hembusan nafasku pasti akan memiliki makna. Tapi bodohnya juga manusia yang selalu merasa hebat ini, tidak pernah menggerakkan hati untuk peka terhadap makna kehidupan. 

Kehidupan ternyata memilki amat banyak sekali pilihan. Tinggal pilih yang mana? Hidup dengan akhiran khusnul atau su'ul? Hidup ini ternyata tujuannya untuk mempersiapkan kematian ya. Seharusnya. Tapi diri ini masih saja sering terlena dengan nikmat dunia yang menggoda. Mengabaikan seruan-Nya. Petunjuk sederhana-Nya juga
kadang tidak dihiraukan. Begini masih minta yang khusnul. Malu tapi takut. 

Semakin bertambahnya usia ini, terus bertanya apakah sudah semakin dewasa dan bijaksana? Jawaban tidak masih menjadi dominan. Jika dipikir ulang dan mengulang, semakin ke sini belum sadar juga diri ini. Sudah berapa kematian saudara-saudara terdekatmu yang telah dijumpai. Atau bahkan kematian temanmu yang kemarin lusanya padahal masih tertawa denganmu. Sudah berapa kali melihat sakaratul maut dengan mata kepala? Sudah berapa kali ikut mendoakan jenazah sampai di liang lahat? Sungguh hati ini hanya begetar bebrapa hari saja. Setelah itu lupa dan kembali pada tabiat semula. Semoga kalian hei temanku yang membaca, tidak sama sepertiku diriku ini.

Begitu lembut Allah menegur dengan mengahadirkan kematian dan kelahiran di sekitar kehidupanku. Tangis bahagia dan duka menjadi pelengkap naskah kehidupan dunia fana ini. Tapi sungguh kedewasaan diri ini kenapa tidak melekat saja pada kebijaksaan yang selalu kunanti. Terlalu banyak memberikan penilaian 'Gimana sih kenapa bisa-bisanya berbuat seperti tadi?' menyesal karena kelakuan diri tidak tepat. Daripada 'Alhamdulillah masih bisa bermanfaat, harus lebih bermanfaat lagi.' sadar akan tindakan yang tepat. 

So, temanku yang tersayang semakin bertambahnya umur mungkinkah tanpa penambahan kualitas diri? Saya pun juga masih berusaha. Bahkan bisa dibilang berusaha keras. Keep shining with your way yaa di manapun, kapanpun, dengan siapapun. Salam sayang dari kejauhan."

0 comments:

Post a Comment

 
Dear It's Me Blog Design by Ipietoon