Hari-hariku
kini jauh dari Samudra. Sahabat terbaikku seperti inilah posisinya saat ini.
Aku harus bercerita kepada siapa lagi? Padahal pendengar yang mau dengan sabar
mencerna kalimat-kalimat tak bermutuku menjadi rangkaian yang luar biasa hanya
dia. Seperti kehilangan alunan manis yang selalu disajikan setiap detiknya.
Sekarang tinggal kesepian yang menderu di daun telingaku.
“Harusnya
aku pergi lebih cepat daripada saat ini.” Secarik kertas dengan sobekan yang
terburu sepertinya. Tertinggal di atas meja dekat tasku, atau ini memang
seharusnya tertuju untukku? Tunggu. Tulisannya seperti dibuat-buat, tapi sudah
pasti ini goresan tangan Samudra. Bagaimanapun mau dibuat-buat tulisan lelaki
kidal ini sudah terpatri ciri khasnya.
Ingin
sekali aku remukkan kertas ini saat itu juga. Buliran air mata yang tanpa
diberi instruksi seketika berjatuhan bersama dengan dongkolnya hatiku. Nuraniku
selalu menahan “Aku baik-baik saja tanpa Samudra” memberontak tidak bisa
menahannya lagi. Kenapa Samudra? Kenapa? Betapa sepinya nafasku tanpa hembusan
perhatianmu. Begitu sulit aku berusaha tertawa lepas dengan teman-temanku
beberapa waktu belakangan semenjak kamu pergi.
Menjadi
tegar saat pandanganku selalu diacuhkan olehnya ternyata menguras keikhlasanku
untuk berjauhan dengannya. Namun, aku tidak tetap boleh cengeng di depannya.
Siapa tau saat aku menerima surat ini dia mengawasiku dari kejauhan. Ku hapus
air mata ke egoisanku ini. Dengan bergegas ku sahut tasku dan ingin segera
keluar dari tempat ini.
Bruukkkk!
“Samudra?”
lelaki yang kubutuhkan jawabannya mengapa meninggalkanku ini, ternyata tidak
mengawasiku dari kejauhan. Dia ada tepat di belakangku semenjak aku menangis.
![]() |
from google |
Dont forget read Rimla dan Sunyi Samudra #2
To be continued.....