Sekedar 'Melanjutkan Perjalanan'

Hari yang terus bergerak maju, tanpa meilhat diri ini kadang menuntut kita untuk sekedar mengikuti alur maju itu saja. Waktu yang terus berdetik tidak pernah menghiraukan apakah kita sedang tidak sehat, apakah kita sedang sedih, bahkan ia tidak berkutik saat kita meminta menyerah. Sampai akhirnya, mau bagaimana lagi? Terus merangkak bahkan terseok dalam putaran waktu yang tidak akan berhenti kecuali kehendakNya.

Ada beberapa segmen kehidupanku yang terasa sangat berat dijalani. Bahkan tidak hanya hitungan jam, bisa sampai berhari-hari. Rasa yang paling ku ingat adalah aku tetep harus melanjutkan perjalanan, gatau gimana nanti seenggaknya aku nggak diam sendirian di kamar. Padahal hari itu badan rasanya dingin sekali dari dalam, tapi saat dipegang cenderung hangat bahkan bisa dikatakan panas. Wajahku sudah pasti pucat dan air ludah terus tertelan secara otomatis. 

Sendirian, duduk terpaku di kursi samping sopir travel malam itu. Aku sadar betul tidak membawa tas plastik untuk sekedar mual jika tidak tertahan. Sedikit lagi, sudah sampai bandara. Diriku mencoba menguatkan bagian diriku yang lain. Perjalanan 170 km malam itu terasa begitu lama. Aku tau betul bahwa badanku memang sudah memberi sinyal buruk sejak kemaren. Tapi tiket dan rumah sudah di depan mata. Bisa dibayangkan, gapapa tahan sedikit lagi sakit di rumah aja gapapa. Tanganku yang terus menggenggam semakin mengkerut.

Malam yang mulai bersayup terdengar suara-suara masjid menemani ketahananku. Sholat shubuh di pinggir jalan waktu itu terasa berwudhu dengan air es. Tidak lama berhenti, setelah selesai sholat perjalanan dilanjutkan. Berkelok, tikungan, kecepatan tinggi, jalanan berlubang, bercampur aduk menjadi satu membuat tubuhku semakin lemas. Aku hanya ingat aku hampir mutah, sudah di ujung tenggorokan tapi tidak tahu bagaimana seakan-akan mereka masuk ke lambungku lagi. 

Benar-benar tidak ada yang bisa kulakukan. Aku mau minta berhenti pun tidak ada gunanya. Sampai aku tertidur, semoga itu bukan pingsan. Beruntungnya aku bisa terlelap 20 menit sebelum sampai tujuan. Saat bangun karena suara pintu bagasi belakang terbuka. Ku buka mataku sudah di depan pintu keberangkatan bandara. Selesai membayar dan turun, kamar mandi bandara yang ada di belakang Circle K, tubuhku menyerah. Semua pertahananku jebol, memberontak keluar. Gabisa dibayangkan sih mungkin aku mutaber dan demam ya. Tubuhku sudah menahan sebegitunya, otakku yang gamau tau. Setelah kuselesaikan check in dan bagasi aku membeli minuman hangat dan soto. Sekedar mengisi kehidupanku yang masih mengawang. 

Mungkin itu adalah perjalanan yang benar-benar gapunya yang bisa diandalkan kecuali Tuhan. Emang dasar suka menyiksa diri sendiri juga. Setelah itu aku selalu memastikan apa yang perlu kubawa saat akan memulai perjalanan. Sesampai di rumah, mungkin dua hari terkapar di kamar untuk mengembalikan stamina tubuh. Hehehe.

Hubungan Berjarak (Lumayan) Jauh

Apakah kalian termasuk salah satu orang yang belum pernah keluar dari rumah tempat lahir dan tumbuh? Apakah kalian masih tinggal bersama keluarga kandung kalian sampai saat ini? Apakah kalian termasuk dalam orang beruntung yang hidup bersama keluarga? Tidak perlu hidup sendirian, tidak melewati malam dengan komunikasi satu-satunya lewat gawai? Jika kalian termasuk di dalamnya, mungkin di mataku kalian adalah orang beruntung. Privilege itu sungguh mahal harganya, syukuri dan nikmati melewati masa-masa. 

Semoga saja kalian yang membaca juga merasakan maksud dari 'keberuntungan' versiku. Bisa jadi ada beberapa orang yang tidak seberuntung itu dengan 'privilege' yang saya harapkan. Sebagai anak gadis yang sudah keluar rumah di mana saya dilahirkan dan dibesarkan sejak lulus SMA, jika boleh minta saya akan berusaha untuk kembali berada di dalam rumah itu. Saat itu usia saya baru tujuh belas tahun, belum genap saya habiskan dua dekade hidup 'tenang' di bawah dekapan bapak dan ibu. Walaupun saat itu, saya bukan yang langsung kos sendiri. Alhamdulillah bagi saya itu adalah pelatihan sebelum benar-benar hidup sendiri. Saya masih satu rumah dengan keluarga, dalam satu rumah ada tiga gadis satu kampus beda fakultas. Jadi, saya merasa enjoy dan tetap menikmati masa kuliah dengan happy. Perbedaan yang sangat dirasakan, pulang ke rumah menjadi hal baru. Sebulan atau dua minggu sekali berburu bus antar kota menempuh jarak sejauh 140 km hanya untuk bertemu dengan keluarga. Aneh rasanya, hingga menjadi terbiasa. 

Fase kehidupan membawa diri saya lebih jauh dari rumah lagi. Bahkan sekarang jaraknya lebih dari 1300km harus melewati pulau. Nah, dari sinilah dimulai hidup seorang diri. Semua kebutuhan dari bangun sampai tidur bahkan saat tidur, ya siapa lagi kalo bukan diri sendiri yang menggerakkan dan menyiapkan. Hanya mengandalkan Allah dan doa orang tua kalo ini ya. 100 hari pertama kayak orang linglung, kok bisa beli bahan sendiri masak sendiri dimakan sendiri. Habis sadar nangis, "Ya Allah dulu disiapin sisa ngemplok aja kadang gamau makan, kalo ga ganti menu." 

Bagi saya merantau di daerah yang jauh dari semua akses dan fasilitas merupakan tamparan yang cukup berat untuk berbenah diri. Bayangkan hidup selama 20 tahun di daerah yang semua bisa dengan mudah diakses, bahkan dengan ujung jari bisa langsung makan di depan mata tanpa bergerak. Bum, tiba-tiba masuk di daerah yang bahkan tidak ada ojek online apalagi g*food atau gr*bfood. Jalanan utama saja berlubang sebesar sapi, dan heran kalau ada perbaikan jalan proses mengaspal bisa berbulan-bulan. Saya yang biasa hidup di pinggir jalan ringroad, keluar rumah ngeliat jalan baru diaspal pas balik udah selesai. Bahkan mobil besar pengaspal sudah ilang. 

Perbedaan hidup yang cukup signifikan membuat mata saya terbuka lebih lebar. MashaAllah di sini sesabar apa ya masyarakatnya, dengan segala keterbatasan fasilitas itu mereka tetap bisa hidup nyaman. Adaptasinya cukup sulit dan lama ya, mengikuti pace kehidupan di sini. Apalagi berakulturasi berasimilasi dengan budaya yang berbeda juga. Saya gapernah tau, seberapa hebat doa bapak ibu karena sejauh ini saya selalu dikelilingi orang-orang baik. Literally baiknya tulus, saya yang sebatang kara ini selalu dibantu dengan effortless lah. Di titik ini, saya mau berusaha dan mengusahakan agar bisa menghentikan hidup sendiri ini. Mencari jalan untuk bisa dekat dengan keluarga. Saya rasa cukup sejauh ini, ini kejauhan. Tapi tetep berterimakasih bisa melewati perjalanan ini dipermudah juga, thanks Allah.

Buat kalian yang masih ada di dekat keluarga, masih bisa hidup tanpa kesendirian, nikmati dulu ya. Pelan-pelan. Tujuh belas taun tidak cukup rasanya hidup bersama keluarga, masih kurang banget. Karena setelah menikah membentuk keluarga baru, tentunya peluang itu akan lebih mengecil. Setidaknya sampai kalian menikah, nikmati hidup bersama keluarga kandung kalian. Doakan saya yang masih kekurangan kesempatan ini, dipermudah menebus waktu untuk bisa kembali hidup bersama keluarga saya. Saya pun meminta maaf kepada diri sendiri, karena sering berusaha baik-baik saja untuk kuat melewati semuanya sendirian. 

Selamat berkumpul dan menikmati waktu bersamanya!

Perjalanan Berpesawat

Sudah ada yang pernah melakukan perjalanan dengan pesawat? Sekedar untuk liburan, mudik, atau apapun itu? Semoga yang belum pernah, segera datang kesempatannya ya. 

Sedikit mau berbagi cerita dari sudut pandang pribadi. Dulu, naik pesawat bagiku merupakan hal yang mewah dan tidak familiar. Beberapa kali ke bandara sekedar untuk jemput Bapak dan Kakak yang pergi dinas. Saat itu di Jogja, bandara masih di Adi Sucipto yang sekarang sudah ditutup untuk penerbangan domestik. Karena tidak ada kepentingan untuk naik pesawat, mudik dan saudara pun tidak ada yang perlu dikunjungi dengan pesawat. Bisa dibayangkan seberapa kecil peluang untuk naik pesawat bagiku yang masih remaja waktu itu? 

Sampai akhirnya dari sekian seleksi terpilihlah dua siswa perwakilan SMA ku untuk mewakili Duta Pelajar yang akan dikirim selama dua minggu ke pulau seberang. Sudah pasti karena lokasinya di Kalimantan, harus ditempuh dengan pesawat. Akhirnya kesempatan pertama kaliku naik pesawat di usia 16 tahun. Waktu itu serombongan naik pesawat Garuda, bungkus permen dan tisu bahkan disimpan dibawa pulang. Pengalaman naik pesawat pertama dan gratis itu, fotonya masih terkenang rapi di ruang tamu. 

Kesempatan kedua naik pesawat, Alhamdulillah gratis lagi. Salah satu motivasi ikut seleksi apapun itu, mungkin motivasi terbesarku untuk sekedar naik pesawatnya. Lolos perwakilan fakultas untuk lomba di University of Malaya, bersama lima sohib berbagai jurusan. Ini senengnya gatau lagi deh, karena ini jadi pengalaman kedua naik pesawat ditambah pertama ke luar negeri. Memanfaatkan kesempatan itu, melipir ke Singapura untuk menambah cap paspor. 

Setelah pengalaman berpesawat selalu gratis, akhirnya kesempatan untuk dapet tiket gratis lagi tapi kali ini penempatan kerja. Pertama kali naik pesawat gratis dengan hati tidak sepenuhnya bahagia. Ini semua mengartikan akan bekerja jauh dari homebase. Dari sinilah awal mula bolak balik bandara untuk naik pesawat dari setaun enam kali jadi sebulan sekali. MashaAllah, dari banyaknya itu sudah jauh dari penggratisan ya tentunya. Masih belajar mensyukuri yang ada, doanya dulu karena suka banget naik pesawat tapi bukan berarti gini banget ya. Keseringan kalo ini. Tapi itu tadi masih selalu berproses untuk mensyukuri, karena dimampukan membeli tiketnya. Selama waktu untuk bertemu masih bisa diusahakan, materi dipikir belakangan saja ya hehehe. 

Sudah berjalan selama enam tahun, sangat familiar dengan pesawat dan bandara. Hal yang sangat mewah itu, terasa biasa saja bahkan bosan. Manusia memang tidak pernah berhenti untuk mengeluh dengan nikmat yang diberikan. Jujur doanya sekarang lebih spesifik, masih tetap suka naik pesawat. Semoga naik pesawatnya untuk liburan, untuk beribadah ke tanah suci, untuk safar yang sementara. Tujuan manapun berangkatnya dari Bandara YIA, boleh?   

Kembali Dengan Versi Terbaru, Hai Semuanya!

Bagaimana langit di kotamu hari ini? Semoga tidak sedang murung, saya harap teriknya bisa menghangatkan hari Jumat kali ini. Lama sekali tidak menyambangi media platform ini, apalagi untuk log in. Kenapa bisa kembali menulis di laman ini? Karena ketidaksengajaaan sedang iseng mengetik nama panjang di Google. Eh, ada blogspot yang sudah tidak ada diurutan halaman pertama. Dulu, setiap ketik nama akan langsung merujuk pada blogspot kesayangan ini. Postingan terakhir ternyata sudah lima tahun lalu. Sungguh lama sekali, saya scroll sambil membaca apa yang saya tulis dulu. Bisa disimpulkan didominasi oleh kebimbangan hidup seorang remaja menuju quarter life gadis perantauan. Galau dan sedih semua kayaknya😝

Datang kembali dengan versi baru, Alhamdulillah sudah mengikat hubungan di hadapan Allah sejak tahun kemaren. Sudah hidup dengan belajar mensyukuri segala hal yang hadir setiap harinya didampingi seorang lelaki yang semoga sholeh juga di mata Allah. Karena kalo versi mata manusia sudah di atas rata-rata, suami saya ini. Sekarang sudah di usia yang tidak lama lagi akan berkepala tiga. Sudah memiliki pekerjaan, bahkan saya menulis ini sedang duduk di meja kantor di tengah istirahat sholat Jumat. Semoga teman-teman yang membaca atau mungkin yang mengikuti blog ini, sekarang sudah menjadi versi lebih baiknya dari terkahir notif blog ini yaa. Barakallah.

Kita sedikit sharing kesan pesan ketika membaca ulang tulisan di blog ya. Bagi saya ini hal pertama yang terlintas "Lucu juga bocil satu ini." MashaAllah blog ini sudah menemani saya sejak 2012, berarti dari saya SMP. Ada momen kiasan tertulis, yang kejadiannya mungkin hanya saya dan Allah yang tahu tapi ada juga frontal yang membuat istigfar waktu baca. Justru menjadi refleksi ternyata saya bisa melewati hal-hal konyol waktu itu, mungkin sudah saya anggap 'ujian'. Secara keseluruhan saya mengingat semua momen bahkan subjek anonim yang ditulis. 

Ada beberapa tulisan yang saat menulisnya bahkan diiringi tangisan, kali ini membaca dengan tertawa. Tapi ada juga yang membuat kembali menitihkan air mata, karena seperti flashback the pain. Karena yang sejati ya perubahan itu sendiri. Tidak ada yang benar-benar 'tetap sama'. Manusia terus bergerak entah bagaimanapun bentuknya. Saya cukup menikmati tulisan penting-tidak penting yang masih tersimpan di blog ini lebih dari satu dekade. Dasarnya memang suka menulis, ada banyak buku diary tapi ya begitu tidak tau di mana fisiknya. Blogspot ini bisa menjadi sedikit obat rindu dan reminder bahwa saya dasar hobinya ya menulis. Menulis apapun itu, kebanyakan hal-hal kecil di sekelilingnya. Walaupun intensitas menulis itu sudah sangat menurun bahkan sekedar note di hp juga nol besar, saya masih mengusahakan satu bulan satu buku. Karena sudah hidup berkolaborasi dengan suami ya ganti-gantian bukunya, partner saya didominasi buku upgrade hidup dengan cara pandang agama. Teracunilah saya yang biasa dengan fiksi Tere Liye, Oki Madasari, Leila S Chudori, dan segenrenya mulai sedikit demi sedikit membaca buku selera Pak Suami.

Semoga akan lebih rutin menengok laman ini ke depannya. Sampai jumpa di cerita berikutnya. Saya doakan bahagia dan tercurah berkah dari Allah bagi para pembaca.
 
Dear It's Me Blog Design by Ipietoon