Api Itu Besar


Waktu kecil kelompok mainku itu kompak banget. Ada tujuh anak, tiga cewek sisanya cowok. Hampir setiap hari kami selalu kumpul bareng. Pernah di suatu hari, waktu liburan kami menginap disalah satu rumah temenku cewek. Karena rumahnya yang luas dan dia punya tenda, kami pilihlah malam Minggu untuk makrab bersama.
Kami udah siap-siap dari sore. Sama sekali tidak ada firasat burukpun. Senja mulai berganti malam, tragedi mengenaskan itu terjadi. Kompor yang kami buat dari tumpukan batu bata dengan bahan bakar kayu itu saksinya. Karena ingin seperti petualang sejati kami memasak makanan sendiri. Kalau tidak salah aku memasak mie rebus. Belum mie matang, tiba-tiba api berkobar tinggi melebihi tubuhku yang sedang jongkok.
“Wuuuussssshhh” api itu mengeluarkan bunyi yang keras.
Pipiku terasa panas sekali. Teman cowokku merintih kesakitan. Kejadian itu terlalu cepat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa detik setelah api itu berkobar aku baru tersadar. Pipiku sudah terkena api, merahlah pipi tembemku ini. Perih, panas, dan takut perasaanku saat itu. Namun, temanku cowok yang berteriak tadi rambutnya sudah terbakar. Orangtua temanku yang punya rumah langsung mematikan api di kepala yang sudah membakar sebagian rambutnya.
Pipiku diolesi dengan cairan apa yang entah itu apa. Bapak ibuku langsung ditelpon, kalau tidak salah teman cowokku dibawa ke rumah sakit. Mungkin jika aku bisa melihat diriku waktu itu, aku pasti dalam keadaan pucat dan dingin karena takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata temanku yang rambutnya terbakar itu menyemprotkan minyak tanah yang terlalu banyak. Posisinya yang terlalu dekat mebuatnya terbakar cukup banyak. Untung saja aku yang sedang memasak di depan kompor batu bata itu hanya terbakar di bagian pipi saja.
Dari kejadian malam itu, kami sempat libur untuk bermain. Kami semua merasa salah. Tetapi aku mengambil hikmah dari kejadian itu, bahwa pengawasan orangtua tidak boleh lepas untuk anak yang masih di bawah umur. Apalagi untuk bermain api. Sebagai anak juga jangan ngeyel, hati-hati kalau mau main itu. Harus tahu seberapa riskan dan bahaya permainan tersebut.

20 Juli 2014

Setelah Gempa Pagi Itu

Sebelum baca cerita ini, baca dulu D-Day, 27 Mei 2006 :)

Tenda-tenda pengungsian sudah berdiri di lapangan. Ada banyak titik pengungsian di dusunku. Bisa dibilang hampir 99% rumah runtuh di daerah ini. Karena lokasinya yang tidak jauh dari Sungai Oya sebagai titik gempa. Satu tenda berukuran lima meter kali tiga meter. Jika dilihat memang besar, tetapi ketika masuk dan bebrapa keluarga tidur disitu terasa kecil tenda ini.
Keluargaku memutuskan untuk ngungsi di kantor bapak. Kantor bapak nggak terlalu jauh, di sana juga sudah disediakan posko. Karena di desaku sudah tidak memungkinkan lagi untuk mencari pengungsian, akhirnya siangnya aku bersama ibu dan kembaranku langsung ke kantor bapak.
Di sana sudah ada beberapa keluarga PLN. Aku sudah membawa tenda mainanku untuk tidur. Posko pengungsian di kantor PLN itu di garasi mobil. Tempatnya terbuka namun beratap dan alasnya sudah ada keramiknya. Tikar untuk tidur sudah digelar berjajar. Dapur darurat juga sudah komplit dengan kompor, sayuran, dan bahan makanan lain.
Malam ini, hujan deras sekali. Ratusan liter air hujan turun membasahi debu-debu reruntuhan. Di posko kantor terasa dingin, tempeyasan air membasahi tubuh kecilku. Namun, aku tak berani mengeluh. Kabar dari tetanggaku yang menginap di tenda lebih menyedihkan. Para bapak kehujanan mempertahankan tenda agar tidak runtuh. Para ibu duduk jongkok menggendong anak-anaknya. Teman-temanku menangis ketakutan. Sungguh aku tidak bisa membayangkan, hatiku begitu miris mendengar itu.
Bapak sudah mengabari Pak RT dan Pak Dukuh agar anak-anak mengungsi saja di PLN. Beberapa keluarga yang anaknya masih kecil akhirnya tinggal bersamaku di posko PLN. Malam itu tidurku tidak senyenyak tidur sebelumnya. Suara hujan yang bergemuruh, membuatku membayangkan gempa pagi tadi. Memperlihatkanku kembali pada jenazah tetanggaku, temanku, yang diberjejer untuk dishalatkan. Aku tak mau membayangkan, tapi dari bayangan itu membuatku selalu ingat untuk bersyukur.

19 Juli 2014

D –Day, 27 Mei 2006


Tahukan gempa Yogyakarta di tahun 2006? Nah, waktu gempa itu terjadi aku baru kelas 1 SD. Aku masih inget banget, waktu itu tanggal 27 Mei jam 05.55. Posisiku baru mau wudhu shalat shubuh. Barus selesai mandi dan cuma pakai handuk aja. Baru aja kumur-kumur tanah kamar mandi bergetar, terus aku injek-injek tapi kok nggak berhenti justru tambah keras.
“Gempa, gempa, Allahuakbar!” Ibu udah teriak-teriak dari dapur. Aku belum tahu apa itu gempa? Aku langsung saja keluar kamar mandi. Tambah bingung karena dapur udah terasa panas karena api berkobar-kobar. Kompor minyak buat Ibu masak ternyata ngglimpang. Ku lihat wajah Ibu panik mencelupkan keset dan mematikan api. Setelah api padam aku keluar rumah digandeng ibu.
Bapak, ibu, kakakku, dan kembaranku sudah berkumpul di depan rumah. Sunyi dan sepi sekali keadaan waktu itu. Pemandangan jadi terang sekali. Depan, samping kanan kiri, belakang rumahku rata dengan tanah. Jalan aspal tak bisa kulihat lagi, karena jalanan itu dipenuhi batu bata rumah tetanggaku yang runtuh. Debu-debu berterbangan memenuhi pandangan.
Lima menit setelah hening dalam sunyi teriakan mulai terdengar.
“Tulung, tulung!”
“Allahuakbar, tulungi kula!”
Lengkingan permintaan tolong bersahutan bersamaan. Bapak dan kakakku mencoba mencari asal suara-suara itu. Bersama bapak-bapak yang lain berbondong memberi bantuan pertama. Aku dan ibuku masuk mencari baju yang ada dijemuran, karena aku keluar hanya dengan selehai handuk. Benar-benar luar biasa bencana pagi itu. Dua almari di dalam rumahku jatuh dan semua isi pecah berhamburan. Akuariumku juga jatuh dan pecah. Rumahku berserakan beling-beling kaca. Namun, syukur rumahku masih bisa berdiri kokoh.  

19 Juli 2014

Berlari dari Ular Hitam


Rumahku ada di desa yang masih cukup asri. Di sebuah dusun Pelemsewu, di sana masih banyak sawah. Rata-rata sesepuh di dusunku bermata pencaharian sebagai petani. Hamparan sawah masih bisa terlihatterbentang hijau di antara pemukiman. Sawah itulah salah satu tempat bermainku di waktu kecil.
Bergerombolan sebelum TPA, aku dan kawan-kawan selalu meluangkan waktu untuk bermain di sawah. Jika masih musim tandur, tanah sawah masih basah, disaat itulah waktu yang tepat untuk bermain. Sambil teriak-teriak kami menyusuri parit yang sempit, terkadang sesekali mencelupkan kaki untuk merasakan dinginnya air.
Pada suatu hari, kami yang masih kecil-kecil ini tercengang dan langsung berhamburan. Berteriak ketakutan. Kami berlari berebutan di jalan setapak itu. Setelah temanku yang depan sediri berteriak, “Ular! Ada ular! Lari” Aku juga melihat hewan sebesar ranting melata di antara rerumputan. Ularnya berbawarna hitam pekat.
Kami berlari tanpa berhenti sampai kelar dari area persawahan. Alhamdulillah, kami bisa tidak mendapat serangan apapun dari ular tersebut. 

19 Juli 2014

Ngompol Part 2 ._.


Tidak jauh berbeda dengan Ngimcil kemarin yaitu Ngompol di Tumpukan Sandal’, kali ini masihberbicara tentang ngompol sembarangan. Kali ini bisa dibilang lebih ekstrim. Aku masih sangat ingat peristiwa memalukan ini, karena aku sudah umur lima. Tempat kejadiannya  di salah satu mal di Yogyakarta. Dulu di mal itu ada tempat main mandi bolanya, tapi sekarang udah nggak ada. Buat main di mandi bola, bayarnya masih Rp 6000.
Belum ada firasat apapun, menikmati tuh mandi bolanya. Di mandi bola waktu itu cuma ada aku dan Rahma. Karena asyik bermain, bapak sama ibu jalan-jalan sendiri. Ditinggalah kami berdua, dan kami ditungguin mbak penjaga mandi bola. Mbaknya gendut dan nggak terlalu tinggi, pakai jilbab dan dia baik. Sudah cukup lama bermain, udah mulai kebelet-kebelet gitu. Malu mau bilang sama mbaknya, ditahanlah supaya nggak pipis.
Ternyata pertahanan mulai bocor. Sudah tidak bisa ditahan lagi. Ngompolah aku di kolam penuh bola. Karena takut mau bilang apa, aku nangis keras banget. Rahma malah marahin aku buat diem. Tambah keraslah tangisku. Mbaknya mulai bingung.
            “Cup, dik! Nggak papa kok kalau ngompol.” mbaknya mencoba menghiburku. Rasa takut, bersalah, serta malu membuat kalimat menghibur dari mbaknya tak mempan untukku. Aku tidak tahu apa yang dirasakan mbaknya waktu itu, ya?
Belum lama aku menangis, bapak ibu datang. Mungkin naluri mereka merasakan jeritan tangisku, ya. Langsung deh, pamitan sama mbak baik hati dan meminta maaf atas perbuatanku. Maklumilah karena hobiku yang suka ngompol. Setelah itu, lama sekali aku nggak pergi ke mal itu. Malu oi malu.


17 Juli 2014

Ngompol di Tumpukan Sandal


Mencari bahan untuk proyek ‘Ngimcil’ ini, membutuhkan ketajaman ingatan untuk flash back. Kali ini aku mengingat satu peristiwa yang bisa dibilang memalukan, ya. Kejadian ini masih samar aku ingat, tapi ibuku kembali menceritakan peristiwa itu. Karena memang aku masih umur dua tahun, ingat peristiwanya tapi gambarannya itu masih kurang jelas.
Waktu itu sama seperti ini, bulan Ramadan. Sudah tradisi kalau Ramadan keluargaku memilih shalat di masjid. Begitu pun juga walau masih punya anak kecil dua tahun dua orang lagi, ibu tetap memilih shalat di masjid dan membawa aku serta kembaranku. Tahukan kalau anak kecil ditinggal shalat itu bisa keluyuran sampai mana-mana? Nah, aku juga begitu.
Shalat tarawih baru saja dimulai, aku bersama kembaranku sudah pergi dari tempat shalat ibuku. Aku keluar masjid dan main di sandal-sandal jama’ah shalat malam itu. Karena takjub banyak banget sandal di sana, aku main lari-larian di atas tumpukan sandal. Karena asyiknya bermain aku juga pipis di tumpukan sandal itu. Tanpa rasa bersalah telah menajisi sandal, aku masih saja bermain. Sampai di istirahat tarawih, ibu datang menghampiriku. Ibu mendapati aku yang sudah basah karena sudah ngompol. (Aku tidak biasa memakai pempers.)
Ibu kaget karena sandal-sandal ibu-ibu dan bapak-bapak lain sudah tergenang air pipisku. Tanpa pikir panjang ibu langsung menggendongku dan menggandeng kembaranku pulang ke rumah.
(Dengan bahasa Jawa) “Permisi saya duluan, maaf ini sandalnya pada dipipisin.” ibuku berpamitan kepada ibu-ibu lain dan aku yakin perasaan tidak enak menyelimuti ibuku. Terkadang pipiku memerah ketika salah satu ibu yang menyaksikan kejadian itu mengingatkan kepadaku tentang ngompol di sandal orang. 

16 Juli 2014

Luka di Dagu Itu

Pernah tahu sepeda anak kecil yang masih didorong tapi ada boncengannya?

Seperti itulah sepedaku waktu masih kecil. Sepeda yang bisa dinaiki dua bocah kecil, aku dan kembaranku. Dengan sepeda itu ada peristiwa yang masih membekas sampai saat ini. Jadi, dulu kalau main pakai sepeda ini biasanya didorong sama ibu. Nah, di suatu siang ketika bermain sepeda bersama teman-teman, peristiwa penuh tangis itu terjadi. Kalau lagi kumpul seperti ini, ibu-ibu juga pada kumpul.
Ketika asyik bermain bersama teman-teman dengan pengawasan, tanpa sengaja aku naik jok belakang. Naiknya itu bisa dibilang mengagetkan, ditambah lagi aku hadap belakang. Maka njomplanglah sepeda itu ke belakang. Padahal di jok depan itu Rahma (nama kembaranku) yang sedang asyik duduk. Ya, dia juga ikut njomplang. Jatuhlah dia di aspal dengan posisi dagu duluan.
“Huwaaaaaaa!” Rahma menangis kesakitan. Dengan sigap ibu-ibu termasuk ibuku datang menghampiri kami. Ibuku langsung menggendong Rahma pulang ke rumah. Dengan rasa takut dan bersalah aku mengikuti langkah ibu pulang. Rahma masih menangis. Setelah dilihat ada kerikil yang menancap di dagunya. Lumayan besar dan aku bisa merasakan betapa sakitnya.
Kerikil tidak bisa ditarik dengan tangan kosong. Keadaan menegang, karena bapak mengambil langkah untuk mencabutnya dengan tang. Perasaan bersalah semakin menyelimutiku. “Aku nggak sengaja!” aku hanya bisa berkata lewat hati. Batu ditarik perlahan, darah yang tadi tidak ada kini menetes sedikit demi sedikit. Luka langsung dibersihkan diobati kemudian ditutup perban oleh ibu.
Bekas luka di dagu Rahma masih bisa terlihat jelas sampai sekarang. Ketika melihat luka itu, cerita penuh maaf selalu datang menyorotkan kejadian tangis itu.

15 Juli 2014

Keluar Kau Pilus!


Waktu itu masa-masa liburan, anak-anak ramai berkumpul untuk bermain bersama. Kira-kira aku masih kelas 5 SD, dan ada salah satu temanku yang masih kecil namanya Sahra. Dia adiknya temanku, tepatnya masih umur 6 tahun.
Seperti biasa setelah mandi pagi, kami akan berkumpul di lapangan samping rumahku. Telah banyak tawa dan canda kami ukir di lapangan tersebut. Sambil bermain kami biasanya makan snack yang biasa dibeli di warung Pak Paidi. Nah, hari itu kami memutuskan untuk beli Pilus. Tahukan snack Pilus, sudah murah isinya banyak.
Kami makan tuh dengan asyik. Nah, si Sahra makannya langsung ke mulut. Belum sampai Pilusnya habis, Sahra teriak-teriak ketakutan. (Dengan bahasa Jawa) “Tolong, Pilusnya masuk hidungku. Ini nggak bisa keluar. Aduh gimana ini?” Kami yang berada di sampingnya tak tahu harus berbuat apa-apa. Karena Pilus yang putih itu tidak terlihat dari luar lubang hidungnya. Kami hanya bisa melihat benjolan yang berada di tengah-tengah hidung sebesar pilus.
Dapat dibayangkan betapa paniknya kami. Bertanya-tanya, bagaimana bisa Pilus ini masuk? “Kamu sisi cepat!” “Nunduk!” “Jangan bergerak!” Kami bersahutan untuk memberikan solusi kepada Sahra. Karena tambah bingung, akhirnya gadis kecil ini menangis. Sebagai kakak yang baik, kami berbondong-bondong menghantarkan Sahra pulang ke rumah. Semuanya diceritakan kepada mama papa Sahra. Mereka juga tampak bingung.
Melihat keributan di depan rumah Sahra, salah satu tetangga kami sebut saja Pak Wir menghampiri. Pak Wir sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Dengan gaya kebapakkannya beliau memberikan solusi, “Masak sambel saja, Mbak Yul. (nama mamanya Sahra)”
Seketika itu, Mama Sahra meracik sambal di dapur. Secepat kilat, sambal yang ada dicoek di goreng. Mama Sahra mengaduk-aduk sambal di penggorengan, Papa Sahra menggendong Sahra mendekat sambal yang sedang di goreng. Aroma khas sambal goreng mulai tercium. Aroma semakin menyengat. “Haaaacchhhinngg!” Sahra bersin dengan mantapnya. Pilus kecil yang ada di dalam lubang hidungnya, keluar begitu saja dan nyemplung di sambal.
Alhamdulillah, kami yang menyaksikan kejadian itu langsung terasa lega.


14 Juli 2014

Ujung Ngengkremi #22

Huah, Alhamdulillah. Proyek menulis Ngengkremi #21 selama 21 hari sudah selesai. Insyaallah kebiasaan yang memulai membuatku nyaman ini, akan tetap aku teruskan.

Aku Ora Isin, Kekancan karo Jathilan #21


Surupe donya wis ganti dadi esuk. Srengenge durung njedul, ananging semburat abang ing sisih wetan wis katon mbranang. Manuk-manuk pating cruit, mbrebegi turuku sing angler. Angop, “Huah…” tangi turu tanpa angop lan ngolet kuwi rasane kaya jangan ora diuyahi. Ana ing meja sinauku wis ana klambi, make up, lan sapadhane sing wis tak tata apik saka mau mbengi. Jam pitu mengko kelompok jathilanku entuk job ana ing Dusun Nangkasewu. Amarga kuwi, apa sing dibutuhke mengko wis daksiapake, supaya aku ora kremungsung lan telat.
            Awakku sakjane radha ngregesi , tapi piye maneh umpamane aku ora njikuk job iki Simbok kudu luwih anggone nyambut damel. Simbok wis ora enom maneh, tapi semangate golek dhuwit  kanggo aku supaya tetep bisa sekolah, iku gedhe. Rasane kuwi katon nyess ana ing ati, nalika mriksani Simbok ngumbahi klambi sing sak abrek ing laundy kagunganne Bu Darso. Ora tega, nanging aku biso ngrewangi Simbok yo pas bali sekolah. Sapeninggalane bapak sowan dhumateng Gusti Allah, uripku lan Simbok kerasa luwih abot. Kanggo ngringanake beban iku, aku melu njathil sing dhuwite bisa kanggo nambah-nambah.
            “Mbok, kula pamit rumiyin, nggeh! Assalamuaikum”
            “Yo, Le. Ati-ati, ojo kesel-kesel. Nek wes rada kesel mengko leren wae yo, Nur!” Kula percaya Simbok pareng donga kangge kula. Simbok mesti kuatir yen anak lanange iki arep njathil. Simbok dereng nate mriksani anggonku njathil, Simbok nate ngendika yen ora tega weruh anake golek dhuwit nganti koyo ngono.
            Acara jathilan wis dimulai, saiki genthi giliranku tampil ana ing ngarepe wong-wong sing wis rame muteri lapangan. Awakku rasane abot, saya suwi rasane ana sing ngleboni awakku, banjur kuwi aku ora kelingan ora sadar. Awakku kesurupan roh, pramila anggonku polah ora kaya wong lumrah. Atraksi sing daklakoni biasane kaya ngadheg lan salto ing dhuwure pecahan beling, mangan kembang, gabah, silet, uga pitik mentah.
            Awak iki lemes banget rasane, sirahe lumayan mumet. E, malah Pak Supri utawa pawang kelompokku nyemprot raiku nganggo banyu. “Aduh, Pak. Kula pun sadar” kandhaku supaya Pak Supri mboten nyemprot aku maneh. Dak deleng kiwa tengen sepi nyenyep, ora ana wong maneh. Lapangan sing mau akeh wong, ganti angin-angin sing sumilir tanpa swara.
            “Iki jatahmu, Nur. Jogedmu mau apik lho, top tenan!” Pak Supri ngendhika kalihan maringi kula amplop putih.
            “Matur nuwun, Pak. Kula wangsul rumiyin, Simbok sampun nengga.” pamitku marang Pak Supri.
            “Ya, ati-ati.”
            Rasane seneng, upahku njathil dina iki Rp 20.000, biasane namung Rp 15.000. Alhamdulillah, niki rejeki kangge Simbok. Wis 3 taun aku dadi pemain jathilan lan dakrasake iku ora gampang. Taksih ditingali setengah mata, syiriklah, njijikilah, tapi aku bangga bisa dadi salah sijine pemain iku. Aku ora isin urip saka dhuwit njathil uga kekancan karo sing jenenge jathilan. Jathilan kuwi wis dadi guru sing ora tahu kesel ngancani aku nglewati beban urip. Dadi aja maneh gadhah pemikiran sing mboten-mboten dhumateng jathilan, niki namung kabudayan sing kedhah disengkuyung. Aja isin kekancan karo jenenge jathilan. Yen ora awake dhewe sapa maneh sing bakal ngancani lan nyengkuyung kabudayan jathilan iki?    

Ratna Azizah Puteri

5 Juli 2014 

            

Semangatlah Temanku! #20

Pertama aku mau ngucapin 'selamat datang teman-teman di SMA N 11 Yogyakarta'. Tapi perasaanku kok aneh, ya. Bukannya sok tahu atau gimana, tapi sebagian dari teman-teman baru yang tadi baru daftar ulang itu wajahnya kok sedih, ya? Aku mulai berfikir.Tepat satu tahun yang lalu aku juga merasakan hal yang sama seperti kalian. Datang ke sekolah ini aku juga 'nggak terlalu bahagia'. Mungkin sama halnya dngan mereka. Ini bukan sekolah yang aku mau! Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Rasa syukur atas takdir Allah, satu-satunya cara untuk membuat aku tegar.
Tenang aja teman-teman. Waktu akan membuat bangga dengan sekolah ini. Buktinya sekarang, aku sangat bangga dengan sekolah terluas ini. Ternyata banyak hal yang tidak kalah dengan sekokah lain. Jangan menyeaal bisa masuk di sekolah negri ini. Karena di luar sana masih banyak yang menginginkan posisi kita. Syukuri dan jalani sepenuh hati. Yakinlah kebanggaan itu akan muncul begitu saja.
Dari sedikit pengalaman  ini, aku berharap jangan nglokro sekolah di sini buat adik-adik semua. Justru kalian harus membuktikan, di tempat ini kalian juga berprestasi.

04 Juli 2014

Penggemar Cilik #19

Penggemar Cilik #19
Adik-adik itu ternyata telah menggemariku sejak lama. Lebih tepatnya menggemariku dengan saudara kembarku. Dengan polos mereka mewawancaraiku. Mempertanyakan keinginan tahu mereka tentang kami berdua.  Mereka mengungkapkan keheranannya, kok bisa mirip banget mukanya. (La ya namanya kembar, dek ._. )
Di tengah kultum shalat tarawih malam itu, adik-adik manis ini tanya siapa namaku. Lalu kuulurkan tangan tanda kenalan. Bukannya mengucapkan nama, adiknya justru tertawa bahagia. Dari raut wajahnya, adiknya itu seneng banget. (Duh, GRku meningkat.) Salah satu dari  mereka ada yang menyeletuk, “Udah puas belum? Dia ngefans banget sama mbak kembar!”
Dalam hati aku bersenandung tidak kalah bahagianya. Oalah beginikah rasanya punya fans? Ya itung-itung latihan kalau jadi artis nanti. Ternyata adik-adik ini sudah memperhatikan aku dan kembaranku sejak pertama tarawih. Mereka juga seneng kalau lagi ngaji sama aku atau Rahma. Sebenarnya gelagat keinginan tahu mereka itu sudah bisa ditebak. Mereka sering caper gitu. Tapi nggak nyangka kalau mereka itu ngefans.
Di akhir malam itu, Najwa, Asa, dan kawan-kawan mulai menyapaku.
“Dada mbak kembar! Besok ketemu lagi,ya!” kata Asa sambil berlalu menerobos malam.
03 Juli 2014


Ini Masih Pagi, Kok Sudah Merokok #18


Beberapa hari silam, aku bertemu pengendara motor yang bisa dibilang cukup menyebalkan, ya. Bukan masalah dengan motornya yang motor lama sehingga mengeluarkan asap. Namun, ia asyik dengan rokok yang terus dihisap sepanjang jalan. Padahal hari itu masih pagi, banyak orang yang memanfaatkan bersihnya udara pagi. Lha, bapak ini kok sudah asyik dengan rokoknya.
Coba bayangkan bila setiap perokok berkelakuan sama dengan bapak ini. Ia harus berangkat kerja pagi, dan keinginan besar untuk merokok. Lah, kalau begitu bagaimana manusia bisa mendapatkan bersihnya udara. Siang hari? Ah, Sudah tidak memungkinkan untuk mendapat udara bersih. Banyak aktivitas yang akan dikerjakan pada siang hari. Banyak pengguna jalan yang akan mengeluarkan CO (karbon monoksida) dari kendaraannya. Dapat dipastikan, kelangkaan udara bersih akan lebih dirasakan.
02 Juni 2014


 
Dear It's Me Blog Design by Ipietoon